Cari Blog Ini

Minggu, 19 Oktober 2014

MANUSIA DAN PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang Masalah
Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, serta efektif dan efesien metode atau cara-cara pelaksanaanya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatau landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum malaksanakan pendidikan , para pendidik perlu terlebih dahulu memprkokoh landasan pendidikannnya.
Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu terlebih dahalu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya.
Tidak dapat dipungkiri hubungan manusia dengan pendidikan sangatlah erat, dalam arti luas dari pendidikan yaitu segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala linkungan dan sepanjang hidup. Manusia bukan hanya mempunyai kemampuan-kemampuan, tetapi juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan, dan juga tidak hanya mempunyai sifa-sifat yang baik, namun juga mempunyai sifat-sifat yang kurang baik. Tampaklah bahwa manusia itu sangat membutuhkan pendidikan. Karena melalui pendidikan manusia dapat mempunyai kemampuan-kemampuan mengatur dan mengontrol serta mentukan dirinya sendiri.
Seperti dipahami, tujuan pendidikan adalah bersumber dari tujuan hidup manusia demikian juga nilai menjadi pandangan hidup manusia. Namun dalam hal ini disisi lain pendidikan menghasilkan kader yang baik dan juga menghasilkan kader yang kuran baik, namun kesemuannya itu bergantung dari setiap pribadi yang bersangkutan dan dimana kader ini berpijak.





1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa itu hakikat manusia?
2.      Apa prinsip-prinsip antropologis keharusan dan kemungkinan pendidikan?
3.      Apa yang dimaksud pendidikan sebagai humanisasi?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Memahami hakikat manusia
2.      Memahami prinsip-prinsip antropologis keharusan dan kemungkinan pendidikan
3.      Memahami pendidikan sebagai humanisasi




















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Hakikat Manusia

Manusia adalah aktualitas dan probilitas, manusia itu historis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘manusia’ diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain), insan; orang (1989:558). Menurut pengertian ini, manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemashlahatannya.

Dalam bahasa Arab, kata ‘manusia’ ini bersepadan dengan kata-kata an-nas, al-basyar, al-insan, al-mar’u dan lain-lain. Meskipun bersinonim, namun kata-kata tersebut memiliki perbedaan dalam hal makna spesifiknya. Kata an-nas misalnya lebih merujuk pada makna manusia sebagai makhluk sosial. Kata basyar lebih merujuk pada merujuk pada makna manusia sebagai makhluk biologis. Semua kata basyar dalam Al-Qur’an menunjukan gejala umum yang nampak pada fisik manusia. Dengan demikian, pengertian basyar lebih merujuk pada aktivitas lahir manusia yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, nikah, dan akhirnya mati sebagai akhir kegiatannya di dunia. Begitu juga dengan kata-kata lainnya.

1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan YME
Dalam perjalanan hidupnya manusia mempertanyakan tentang asal-usul alamsemesta dan asal-usul keberadaan dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok filsafat yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968).
Menurut Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam semesta ada dengan sendirinya berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Sebaliknya, filsafat Kreasionisme menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME.

Kita dapat mengakui kebenaran tentang adanya proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi tentunya kita menolak pandangan yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penolakan ini terutama didasarkan atas keimanan kita terhadap Tuhan YME sebagai Maha Pencipta.
Adapun secara filosofis penolakan tersebut antara lain didasarkan kepada empat argumen berikut ini, sebagaimana dikemukakan oleh Tatang Syaripudin (2008;9-10), yaitu sebagai berikut:
1) Argumen ontologis: Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa realitas (kenyataan) lebih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan realitas ada-Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
2) Argumen kosmologis: Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam semesta - termasuk manusia - adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian sebab-akibat, namun tentunya mesti ada. Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang lainnya. Sebab Pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai materi, melainkan sebagai “Pribadi” atau “Khalik”.
3) Argumen Teleologis: Segala sesuatu memiliki tujuan (contoh: mata untuk melihat, kaki untuk berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sindirinya, melainkan diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan.
4) Argumen Moral: Manusia bermoral, ia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang jahat, dsb. Ini menunjukkan adanya dasar, sumber dan tujuan moralitas. Dasar, sumber, dan tujuan moralitas itu adalah Tuhan.

2. Manusia sebagai Kesatuan Badan-Ruh
Menurut Julien de La Mettrie, salah seorang penganut aliran Materialisme bahwa esensi manusia semata-mata bersifat badani, esensi manusia adalah tubuh/fisiknya. Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandang hanya sebagai resonansi dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa.
Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa sakit. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968).
Sebaliknya, menurut Plato – salah seorang penganut aliran Idealisme bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan/ spiritual/rohaniah. Menurut Plato, jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan, karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa.
Contoh: Pada saat berpuasa, jiwa mengendalikan badan untuk tidak minum dan tidak makan, sekalipun kerongkongan sudah kering dan perut keroncongan.
Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme (J.D.Butler, 1968).
Sebagai kesatuan badani-rohani manusia hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran (consciousnesss), memiliki penyadaran diri (selfawareness), mempunyai berbagai kebutuhan, instink, nafsu, serta mempunyai tujuan. Manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, namun di samping itu karena hawa nafsunya ia pun memiliki potensi untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia berdimensi individualitas/ personalitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasi dari semua itu, manusia memiliki historisitas, berinteraksi/berkomunikasi, dan memiliki dinamika.

2.2  Prinsip-Prinsip Antropologis Keharusan dan Kemungkinan Pendidikan
Adapun Prinsip-prinsip antropologis keharusan dan kemungkinan Pendidikan, antara lain :
1.    Prinsip-prinsip Keharusan Pendidikan, Manusia sebagai Makhluk yang Perlu
Dididik dan Perlu Mendidik Diri
a. Prinsip Historisitas
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian terdahulu, eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya sekaligus mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian, manusia berada dalam perjalanan hidup, dalam perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah Manusia tetapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan dirinya sebagai manusia.
b. Prinsip Idealitas
Bersamaan dengan hal di atas, dalam eksistensinya manusia mengemban tugas untuk menjadi manusia ideal. Sosok manusia ideal merupakan gambaran manusia yang dicita-citakan atau yang seharusnya. Sebab itu, sosok manusia ideal tersebut belum terwujudkan melainkan harus diupayakan untuk diwujudkan.
c. Prinsip posibilitas/aktualitas
          Bagaimana mungkin manusia dapat menjadi manusia?
Untuk menjawab pertanyaan itu mari terlebih dahulu kita bandingkan sifat perkembangan khewan dan sifat perkembangan manusia. Perkembangan hewan bersifat terspesialisasi/tertutup.
Sebaliknya, perkembangan manusia bersifat terbuka. Manusia memang telah dibekali berbagai potensi untuk mampu menjadi manusia, misalnya: potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk dapat berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa, dsb. Namun demikian setelah kelahirannya, bahwa potensi itu mungkin terwujudkan, kurang terwujudkan atau tidak terwujudkan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya (menjadi manusia).
2.    Prinsip-prinsip Kemungkinan Pendidikan, Manusia sebagai Makhluk yang dididik :
Manusia perlu dididik dan mendidik. Permasalahannya apakah manusia akan dapat dididik? Pertanyaan tersebut menuntut jawaban dengan prinsip-prinsip Antropologis apakah yang melandasinya? Untuk menjawab permasalahan tersebut, Anda dapat mengacu kepada konsep hakikat manusia sebagaimana telah diuraikan terdahulu (point A). Berdasarkan hal tersebut, dapat ditemukan Lima Prinsip antrolopogis yang melandasi kemungkinan manusia [1][1]akan dapat dididik, yaitu : (1) prinsip potensialitas, (2). prinsip dinamika, (3) prinsip individualitas, (4) prinsip sosialitas, dan (5) prinsip moralitas.
a.               Prinsip Potensialitas
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi manusia ideal.
b.              Prinsip Dinamika
Pendidikan diupayakan dalam rangka memfasilitasi peserta didik agar           menjadi manusia ideal.
c.               Prinsip Individualitas
Praktek Pendidikan merupakan upaya pendidik memfasilitasi manusia (peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menjadi dirinya sendiri (menjadi seseorang/pribadi). Di pihak lain, manusia (peserta didik) adalah individu yang memiliki  kediri-sendirian (subjektifitas), bebas dan aktif berupaya untuk menjadi dirinya sendiri, sebab itu, individualitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
d.              Prinsip Sosialitas
Pendidikan hakikatnya berlangsung dalam pergaulan (interaksi/komunikasi) antar sesama manusia (pendidik dan peserta didik).
e.               Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normatif,artinya dilaksanakan berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu.

2.3       Pendidikan sebagai Humanisasi

Dalam kamus ilmiah popular awal kata Humanisasi, Human berarti mengenai Manusia atau cara manusia. Humane berarti berperikemanusiaan. Humaniora berarti pengetahuan yang mencakup filsafat, kajian moral, seni, sejarah,dan bahasa. Humanis, penganut ajaran dan humanisme yaitu suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaisans didasarkan atas peradaban Yunani Purba, sedangkan humanisme modern menekankan manusia secara eksklusif).
Jadi Humanisasi adalah proses memanusiakan manusia atau yang berhubungan dengan kemanusiaan.
Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani ke arah kedewasaan.
Menurut George F. Kneller (1967:63), pendidikan memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman yang mempengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun kemauan fisik individu. Dalam arti sempit, Pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi, atau lemabaga-lembaga lain.
Dalam undang-undang pasal 1 No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Hakikat Pendidikan sendiri yaitu Pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai. Selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreativitas yand dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya.

Konsep Humanisasi Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Salah satu tonggak pemikiran pendidikan yang cukup monumental, guru kita pahlawan bangsa ini telah mempersiapkan konsepnya dengan baik. Kita semua tahu Bapak pendidikan Indonesia yakni, Ki Hajar Dewantara, menurut konsep yang telah ia rancang bahwa “Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), pengangkatan manusia ke taraf insani”.


Didalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).

Manusia menurut pandangan Ki Hajar Dewantara telah dijelaskan dalam tulisannya yang berjudul Keindahan Manusia yang sebagai berikut :
“Manusia adalah makhluk yang berbudi, sedangkan budi artinya jiwa yang telah melalui batas kecerdasan yang tertentu, hingga menunjukan perbedaan yang tegas dengan jiwa yang dimiliki hewan. Jika hewan hanya berisikan nafsu-nafsu kodrati, dorongan dan keinginan, insting dan kekuatan lain yang semuanya itu tidak cukup berkuasa untuk menentang kekuatan-kekuatan, baik yang datang dari luar atau dalam jiwanya. Jiwa hewan semata-mata sanggup untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang masih sangat sederhana, misalnya makan, minum, bersuara, lari dan sebagainya”.
Pendidikan Ki Hajar Dewantara sangat mengedepankan “Humanisasi” tetapi selama 32 tahun sejak orde baru kita telah mempraktekkan satu konsep pendidikan yang bermuara pada “dehumanisasi”.

Ki Hajar Dewantara yang megusung pendidikan nasional dengan konsep penguatan penanaman nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa sendiri secara masif dalam kehidupan anak didik. Sebagaimana yang ungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara yang dikutip Mohammad Yamin dalam sebuah penggambaran proses humanisasi, “berilah kemerdekaan kepada anak-anak didik kita : bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang ternatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata dan menuju ke arah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar kebudayaan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih yaitu dasar kemanusiaan.

\







BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan

Dari paparan penjelasan makalah kami dapat menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemashlahatannya dan pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi, atau lemabaga-lembaga lain.

Adapun Prinsip-prinsip antropologis keharusan dan kemungkinan Pendidikan, antara lain :
  1. Prinsip-prinsip Keharusan Pendidikan, Manusia sebagai Makhluk yang Perlu
    1. Dididik dan Perlu Mendidik Diri
a)      Prinsip Historisitas
b)      Prinsip Idealitas
c)      Prinsip posibilitas/aktualitas

  1. Prinsip-prinsip Kemungkinan Pendidikan, Manusia sebagai Makhluk yang dididik:
(1)                 prinsip potensialitas, (2). prinsip dinamika, (3) prinsip individualitas, (4) prinsip sosialitas, dan (5) prinsip moralitas.

Pendidikan sebagai humunisasi merupakan konsep humanisasi pendidikan Ki Hajar Dewantara.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar