BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya,
serta efektif dan efesien metode atau cara-cara pelaksanaanya hanya apabila
dilaksanakan dengan mengacu pada suatau landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum
malaksanakan pendidikan , para pendidik perlu terlebih dahulu memprkokoh
landasan pendidikannnya.
Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan
manusia, maka para pendidik perlu terlebih dahalu memahami hakikat manusia
sebagai salah satu landasannya.
Tidak dapat dipungkiri hubungan manusia dengan pendidikan sangatlah erat,
dalam arti luas dari pendidikan yaitu segala situasi hidup yang mempengaruhi
pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala linkungan
dan sepanjang hidup. Manusia bukan hanya mempunyai kemampuan-kemampuan, tetapi
juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan, dan juga tidak hanya mempunyai
sifa-sifat yang baik, namun juga mempunyai sifat-sifat yang kurang baik.
Tampaklah bahwa manusia itu sangat membutuhkan pendidikan. Karena melalui
pendidikan manusia dapat mempunyai kemampuan-kemampuan mengatur dan mengontrol
serta mentukan dirinya sendiri.
Seperti dipahami, tujuan pendidikan adalah bersumber dari tujuan hidup
manusia demikian juga nilai menjadi pandangan hidup manusia. Namun dalam hal
ini disisi lain pendidikan menghasilkan kader yang baik dan juga menghasilkan
kader yang kuran baik, namun kesemuannya itu bergantung dari setiap pribadi
yang bersangkutan dan dimana kader ini berpijak.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa itu
hakikat manusia?
2. Apa
prinsip-prinsip antropologis keharusan dan kemungkinan pendidikan?
3. Apa yang
dimaksud pendidikan sebagai humanisasi?
1.3 Tujuan
Penulisan
1. Memahami
hakikat manusia
2. Memahami
prinsip-prinsip antropologis keharusan dan kemungkinan pendidikan
3. Memahami
pendidikan sebagai humanisasi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat
Manusia
Manusia
adalah aktualitas dan probilitas, manusia itu historis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
‘manusia’ diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk
lain), insan; orang (1989:558). Menurut pengertian ini, manusia adalah makhluk
Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai
makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemashlahatannya.
Dalam
bahasa Arab, kata ‘manusia’ ini bersepadan dengan kata-kata an-nas, al-basyar, al-insan, al-mar’u dan
lain-lain. Meskipun bersinonim, namun kata-kata tersebut memiliki perbedaan
dalam hal makna spesifiknya. Kata an-nas
misalnya lebih merujuk pada makna manusia sebagai makhluk sosial. Kata basyar lebih merujuk pada merujuk
pada makna manusia sebagai makhluk biologis. Semua kata basyar dalam Al-Qur’an menunjukan gejala umum yang nampak pada
fisik manusia. Dengan demikian, pengertian basyar lebih merujuk pada aktivitas lahir manusia yang
dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, nikah, dan
akhirnya mati sebagai akhir kegiatannya di dunia. Begitu juga dengan kata-kata
lainnya.
1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
YME
Dalam perjalanan hidupnya
manusia mempertanyakan tentang asal-usul alamsemesta dan asal-usul
keberadaan dirinya sendiri. Terdapat dua aliran
pokok filsafat yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme
dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968).
Menurut Evolusionisme, manusia
adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam semesta ada
dengan sendirinya berkembang dari
alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Sebaliknya, filsafat
Kreasionisme menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta
adalah ciptaan suatu Creative Cause atau Personality,
yaitu Tuhan YME.
Kita dapat mengakui kebenaran
tentang adanya proses evolusi di alam semesta termasuk
pada diri manusia, tetapi
tentunya kita menolak
pandangan yang
menyatakan adanya
manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penolakan ini
terutama didasarkan atas
keimanan kita terhadap Tuhan YME sebagai Maha Pencipta.
Adapun secara filosofis penolakan tersebut antara lain
didasarkan kepada empat argumen
berikut ini, sebagaimana dikemukakan oleh Tatang Syaripudin (2008;9-10), yaitu
sebagai berikut:
1) Argumen ontologis: Semua manusia
memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa realitas (kenyataan)
lebih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan realitas ada-Nya itu pasti lebih
sempurna daripada ide
manusia tentang Tuhan.
2) Argumen kosmologis: Segala sesuatu
yang ada mesti mempunyai suatu sebab.
Adanya alam semesta - termasuk manusia - adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian
sebab-akibat, namun tentunya mesti ada. Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang lainnya. Sebab
Pertama adalah sumber bagi
sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai materi, melainkan sebagai “Pribadi”
atau “Khalik”.
3) Argumen Teleologis: Segala sesuatu memiliki tujuan
(contoh: mata untuk melihat,
kaki untuk berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sindirinya,
melainkan diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan.
4) Argumen Moral: Manusia bermoral,
ia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang jahat, dsb. Ini menunjukkan adanya dasar,
sumber dan tujuan moralitas.
Dasar, sumber, dan tujuan moralitas itu adalah Tuhan.
2. Manusia sebagai Kesatuan Badan-Ruh
Menurut Julien de La Mettrie, salah
seorang penganut aliran Materialisme bahwa
esensi manusia semata-mata bersifat badani,
esensi manusia adalah tubuh/fisiknya.
Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandang hanya
sebagai resonansi dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang
mempengaruhi jiwa.
Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa sakit. Pandangan
hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme
(J.D. Butler, 1968).
Sebaliknya, menurut Plato – salah seorang penganut aliran Idealisme bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan/ spiritual/rohaniah. Menurut Plato,
jiwa mempunyai kedudukan lebih
tinggi daripada badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan, karena itu badan
mempunyai ketergantungan
kepada jiwa.
Contoh: Pada saat berpuasa, jiwa mengendalikan badan untuk tidak minum dan
tidak makan, sekalipun kerongkongan sudah kering dan perut keroncongan.
Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme (J.D.Butler, 1968).
Sebagai kesatuan badani-rohani
manusia hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran
(consciousnesss), memiliki penyadaran
diri (selfawareness), mempunyai berbagai kebutuhan,
instink, nafsu, serta mempunyai tujuan.
Manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat
baik, namun di samping itu karena hawa nafsunya ia pun memiliki potensi untuk berbuat jahat. Selain
itu, manusia memiliki potensi
untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa),
dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia berdimensi individualitas/
personalitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan dan keberagamaan.
Implikasi dari semua itu, manusia memiliki historisitas, berinteraksi/berkomunikasi, dan
memiliki dinamika.
2.2 Prinsip-Prinsip Antropologis
Keharusan dan Kemungkinan Pendidikan
Adapun
Prinsip-prinsip antropologis keharusan dan kemungkinan Pendidikan, antara lain
:
1.
Prinsip-prinsip Keharusan Pendidikan, Manusia sebagai Makhluk yang Perlu
Dididik dan Perlu Mendidik Diri
a. Prinsip Historisitas
Sebagaimana telah dijelaskan dalam
uraian terdahulu, eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya sekaligus mengarah
ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian, manusia berada
dalam perjalanan hidup, dalam perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah
Manusia tetapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan dirinya sebagai manusia.
b.
Prinsip
Idealitas
Bersamaan
dengan hal di atas, dalam eksistensinya manusia mengemban tugas untuk menjadi manusia
ideal. Sosok manusia ideal merupakan gambaran manusia yang dicita-citakan atau yang seharusnya. Sebab itu,
sosok manusia ideal tersebut
belum terwujudkan melainkan harus diupayakan untuk diwujudkan.
c. Prinsip posibilitas/aktualitas
Bagaimana
mungkin manusia dapat menjadi manusia?
Untuk menjawab pertanyaan itu mari terlebih dahulu
kita bandingkan sifat perkembangan khewan dan sifat perkembangan manusia.
Perkembangan hewan bersifat terspesialisasi/tertutup.
Sebaliknya, perkembangan manusia bersifat terbuka.
Manusia memang telah dibekali berbagai potensi untuk mampu menjadi manusia,
misalnya: potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk
dapat berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa, dsb. Namun demikian setelah
kelahirannya, bahwa potensi itu mungkin terwujudkan, kurang terwujudkan atau
tidak terwujudkan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat
kemanusiaannya (menjadi manusia).
2.
Prinsip-prinsip Kemungkinan Pendidikan, Manusia sebagai Makhluk yang dididik :
Manusia perlu dididik dan mendidik. Permasalahannya
apakah manusia akan dapat dididik? Pertanyaan tersebut menuntut jawaban dengan
prinsip-prinsip Antropologis apakah yang melandasinya? Untuk menjawab
permasalahan tersebut, Anda dapat mengacu kepada konsep hakikat manusia
sebagaimana telah diuraikan terdahulu (point A). Berdasarkan hal tersebut,
dapat ditemukan Lima Prinsip antrolopogis yang melandasi kemungkinan manusia [1][1]akan
dapat dididik, yaitu : (1) prinsip potensialitas, (2).
prinsip dinamika, (3) prinsip individualitas, (4) prinsip sosialitas,
dan (5) prinsip moralitas.
a.
Prinsip Potensialitas
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi manusia
ideal.
b.
Prinsip Dinamika
Pendidikan diupayakan dalam rangka memfasilitasi
peserta didik agar menjadi
manusia ideal.
c.
Prinsip Individualitas
Praktek Pendidikan merupakan upaya pendidik
memfasilitasi manusia (peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu
menjadi dirinya sendiri (menjadi seseorang/pribadi). Di pihak lain, manusia
(peserta didik) adalah individu yang memiliki
kediri-sendirian (subjektifitas), bebas dan aktif berupaya untuk menjadi
dirinya sendiri, sebab itu, individualitas mengimplikasikan bahwa manusia akan
dapat dididik.
d.
Prinsip Sosialitas
Pendidikan
hakikatnya berlangsung dalam pergaulan (interaksi/komunikasi) antar sesama
manusia (pendidik dan peserta didik).
e.
Prinsip Moralitas
Pendidikan
bersifat normatif,artinya dilaksanakan berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu.
2.3 Pendidikan
sebagai Humanisasi
Dalam
kamus ilmiah popular awal kata Humanisasi, Human berarti mengenai Manusia atau
cara manusia. Humane berarti berperikemanusiaan. Humaniora berarti pengetahuan
yang mencakup filsafat, kajian moral, seni, sejarah,dan bahasa. Humanis,
penganut ajaran dan humanisme yaitu suatu doktrin yang menekan
kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaisans
didasarkan atas peradaban Yunani Purba, sedangkan humanisme modern menekankan
manusia secara eksklusif).
Jadi
Humanisasi adalah proses memanusiakan manusia atau yang berhubungan dengan
kemanusiaan.
Pendidikan
ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohani ke arah kedewasaan.
Menurut
George F. Kneller (1967:63), pendidikan memiliki arti luas dan sempit. Dalam
arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman yang
mempengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun kemauan fisik individu. Dalam
arti sempit, Pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan,
nilai-nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh
masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan
tinggi, atau lemabaga-lembaga lain.
Dalam
undang-undang pasal 1 No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Hakikat
Pendidikan sendiri yaitu Pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan
kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai. Selain
itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk
selalu mengembangkan potensi dan daya kreativitas yand dimilikinya agar tetap
survive dalam hidupnya.
Konsep Humanisasi Pendidikan Ki
Hajar Dewantara
Salah
satu tonggak pemikiran pendidikan yang cukup monumental, guru kita pahlawan
bangsa ini telah mempersiapkan konsepnya dengan baik. Kita semua tahu Bapak
pendidikan Indonesia yakni, Ki Hajar Dewantara, menurut konsep yang telah ia
rancang bahwa “Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan
manusia (humanisasi), pengangkatan manusia ke taraf insani”.
Didalam
mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang
otentik kepada manusia untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi
sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia
keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami
manusia (humanis).
Manusia
menurut pandangan Ki Hajar Dewantara telah dijelaskan dalam tulisannya yang
berjudul Keindahan Manusia yang sebagai berikut :
“Manusia adalah makhluk yang
berbudi, sedangkan budi artinya jiwa yang telah melalui batas kecerdasan yang
tertentu, hingga menunjukan perbedaan yang tegas dengan jiwa yang dimiliki
hewan. Jika hewan hanya berisikan nafsu-nafsu kodrati, dorongan dan keinginan,
insting dan kekuatan lain yang semuanya itu tidak cukup berkuasa untuk
menentang kekuatan-kekuatan, baik yang datang dari luar atau dalam jiwanya.
Jiwa hewan semata-mata sanggup untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu
untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang masih sangat sederhana,
misalnya makan, minum, bersuara, lari dan sebagainya”.
Pendidikan Ki Hajar Dewantara sangat
mengedepankan “Humanisasi” tetapi selama 32 tahun sejak orde baru kita telah
mempraktekkan satu konsep pendidikan yang bermuara pada “dehumanisasi”.
Ki
Hajar Dewantara yang megusung pendidikan nasional dengan konsep penguatan
penanaman nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa sendiri secara masif
dalam kehidupan anak didik. Sebagaimana yang ungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara
yang dikutip Mohammad Yamin dalam sebuah penggambaran proses humanisasi,
“berilah kemerdekaan kepada anak-anak didik kita : bukan kemerdekaan yang
leluasa, tetapi yang ternatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata dan
menuju ke arah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar
kebudayaan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri
dan masyarakat, maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, tetapi jangan
sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih yaitu
dasar kemanusiaan.
\
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan penjelasan makalah kami
dapat menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi
potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai makhluk lainnya
demi kemakmuran dan kemashlahatannya dan pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan,
nilai-nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh
masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan
tinggi, atau lemabaga-lembaga lain.
Adapun
Prinsip-prinsip antropologis keharusan dan kemungkinan Pendidikan, antara lain
:
- Prinsip-prinsip Keharusan Pendidikan, Manusia sebagai Makhluk yang Perlu
- Dididik dan Perlu Mendidik Diri
a) Prinsip Historisitas
b) Prinsip Idealitas
c) Prinsip posibilitas/aktualitas
- Prinsip-prinsip Kemungkinan Pendidikan, Manusia sebagai Makhluk yang dididik:
(1)
prinsip potensialitas, (2). prinsip
dinamika, (3) prinsip individualitas, (4) prinsip sosialitas,
dan (5) prinsip moralitas.
Pendidikan sebagai humunisasi merupakan konsep humanisasi
pendidikan Ki Hajar
Dewantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar